Beberapa waktu yang lalu di Studium Generale yang diadakan di Aula Barat ITB, Pak Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, yang ketika itu menjadi pembicara, menjelaskan tentang swasembada pangan. Pada awalnya mungkin banyak dari kita yang mengira bahwa Indonesia, terutama Jawa Barat, banyak melakukan impor beras dan seolah tak berdaya lagi sebagai lumbung padi karena produksi berasnya yang menurun atau karena memang teknologi pertanian kita yang kalah maju dengan negara lain. Namun ternyata Pak Ahmad Heryawan mengungkapkan sisi lain dari hal tersebut.
Beliau mengungkapkan bahwa kini produksi beras Jawa Barat tengah meningkat, bahkan semenjak digunakannya padi tipe IR dan penerapan berbagai teknologi pertanian canggih lainnya, efektivitas panen di Jawa Barat sangat meningkat pesat. Namun ternyata degan kondisi tersebut sampai sekarang Indonesia belum mampu kembali menjadi negara swasembada pangan.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Pak Ahmad Heryawan menjelaskan ternyata hal tersebut terjadi karena tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang sangat tinggi. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia dan Cina, yang notabene mengonsumsi nasi juga sebagai makanan pokoknya, tingkat konsumsi nasi masyarakat Indonesia tetaplah paling tinggi. Jika dikorelasikan dengan kondisi kita sehari-hari, masyarakat Indonesia memang terbiasa makan banyak nasi dibandingkan lauk pauk maupun buah-buahan dengan alasan agar lebih kenyang. Selain itu, kebiasaan tidak menghabiskan makanan juga membuat tingkat konsumsi beras kita meningkat.
Wah, ternyata hal yang mungkin kita anggap sepele berefek sangat besar terhadap ketercapaian swasembada pangan! Bayangkan ketika kita ada di Kantin Salman dan tengah mencomot-comot nasi dan lauk, kemudian kita memilih mengubah pola makan dengan memperbanyak sayur dan buah-buahan ketimbang nasi serta membiasakan diri menghabiskan nasi di piring kita, kita telah turut mengurangi tingkat kebutuhan nasional akan beras! Bayangkan, dari Kantin Salman kita telah turut mengubah peradaban! \(>.<)/
Dari persoalan mengenai perberasan di atas, kita dapat meresapi makna dari kalimat “think globally, act locally”, bagaimana kita bisa berpikir besar dan kemudian merealisasikannya lewat langkah terdekat yang bisa kita jangkau.
Lalu darimana kita memulainya?
Tentunya dari tempat terdekat yang bisa kita jangkau, dari lingkup terkecil yang kita miliki. Dan salah satunya adalah melalui program studi (prodi) maupun fakultas kita masing-masing. Bagaimana kita hendak bicara tentang carut-marutnya moral bangsa kita, jika ternyata di lingkungan terdekat kita saja masih banyak yang menyontek? Yah... think globally act locally
Dan percayalah bahwa langkah-langkah lokal kita berdakwah di wilayah (prodi atau fakultas) berdampak begitu komunal. Bayangkan, jika satu saja teman sefakultas/ prodi kita yang menjadi tercerahkan karena dakwah yang kita lakukan, maka pahala yang kita dapat akan senilai dengan kebaikan yang ia lakukan. Belum lagi jika nantinya dia menjadi orang besar, pemimpin bangsa, yang kemudian menjadi pemimpin yang adil, bermanfaat, dan menyejahterakan orang banyak. Daaan tadi itu baru satu orang, lhoo. Bagaimana jika dua, tiga, sepuluh. Wah..
Disadur dari Buletin GAMAIS ITB edisi GIT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar